Indonesia Negara dengan Kontes Burung Tertinggi di Dunia

Indonesia Negara dengan Kontes Burung Tertinggi di Dunia. Selama ribuan tahun, orang memelihara burung liar menjadi bagian budaya yang mendarah daging. Pemeriksaan literatur ilmiah tentang topik ini menemukan bahwa kontes kicau burung saat ini berlangsung di setidaknya 19 negara dengan menggunakan setidaknya 36 spesies burung. 

Kompetisi biasanya mengadu burung jantan dalam sangkar satu sama lain dalam pertarungan menyanyi di hadapan panel juri manusia, juara ditentutkan berdasarkan kriteria variabel seperti keragaman lagu, daya tahan, bulu, dan gerakan (Su et al., 2014).

Seekor burung juara dapat memperoleh prestasi bagi pemiliknya dan dalam beberapa kasus menghasilkan uang hadiah yang cukup besar," jelas penulis utama Ben Mirin, Ph.D. di Cornell Lab.

Di Indonesia, misalnya, juara pertama Piala Presiden kontes nasional berhadiah $80.000 USD (Gill, 2018). Terlebih lagi, seekor burung penyanyi yang dibeli dengan harga murah dapat dijual kembali hingga $20.000, atau 30 kali lipat dari pendapatan rata-rata bulanan Indonesia, setelah memenangkan gelar juara (Miller, 2017).

Ada cacat dalam budaya ini, jika burung-burung yang memiliki suara dan juara mendatangkan keuntungan, beda nasib dengan burung yang kalah atau tidak memiliki irama lagu yang baik, dijual murah, mungkin hanya sedikit yang berbesar jiwa untuk melepasnya kembali, biasanya berakhir dengan perawatan buruk lalu mati.

Sejarah Kontes Burung 


Kontes nyanyian burung yang kita lihat sekarang adalah bagian dari garis keturunan kuno memelihara burung. Sebagai peradaban tertua yang diketahui menyimpan catatan tertulis, bangsa Sumeria kuno memiliki kata untuk sangkar burung, subura (Dennis, 2014). Sastra kuno dan mitos rakyat dari India, Cina, dan Jepang juga menggambarkan kontes memelihara burung dan bahkan menyanyi dalam berbagai bentuk (Koyama, 2015, Layton, 1991). Tentara Makedonia di bawah Alexander Agung diduga membawa burung parkit bernyanyi kembali ke Yunani setelah kampanye mereka di India pada 327 SM. (Dennis, 2014), seiring dengan semakin populernya pemeliharaan burung di seluruh kerajaan Yunani (dan kemudian Romawi) (Cassey et al., 2015). Salah satu contoh tertua dari kontes nyanyian burung yang sebenarnya berasal dari era Edo Jepang (1603–1868), meskipun catatannya berasal dari abad ke-14 (Kajishima, 2002). Melatih burung untuk bernyanyi sangat populer, dan aristokrat akan menyelenggarakan kontes menyanyi untuk dua burung sekaligus dari rumah pribadi mereka (Koyama, 2015).

Kontes menyanyi juga muncul sebagai hiburan di Eropa abad ke-15, meskipun tumpang tindih budaya dengan tradisi Asia sulit dilacak. Kontes dari era dan wilayah tersebut dipahami terutama melalui lensa ornitologi Barat, yang baru saja muncul sebagai disiplin ilmu formal dan sering diambil dari pelajaran yang didapat dalam praktik pemeliharaan burung (Birkhead dan van Balen, 2008). Kontes menyanyi menjadi populer di kalangan pedagang Flemish di Belgia, yang menangkap dan memperlombakan burung kutilang liar. Tradisi ini dikenal sebagai vinkensport hari ini (Bilefsky, 2007), dan menggunakan Common Chaffinch (Fringilla coelebs). Contoh modern lainnya termasuk kontes menyanyi di negara-negara neotropis seperti Brasil, Guyana, dan Suriname (Hanks, 2005, Kurmanaev, 2021, Nóbrega Alves et al., 2013), di mana penangkaran dan operasi perdagangan sangat kuat. Ada juga kontes di Polandia dan Rusia yang menggunakan penangkaran kenari (Serinus canaria), dan kontes dengan F. coelebs disebut silvestrismo di Spanyol (“Poland's Canary Singing Competition - Pets Factor,” 2017; “Vice Specials: Silvestrismo, juego de trino,” 2018).

Meskipun penampilannya tampak kuno, sejarah kontes burung penyanyi terkait dengan pergerakan manusia dan ekonomi. Ledakan perdagangan international di abad 20-21 saat ini memfasilitasi perdagangan penyebaran burung langka didunia, Arus ekonomi ini akhirnya menyebarkan tradisi memelihara burung. Contoh utama adalah masuknya sekitar 33.000 pekerja kontrak Jawa ke Suriname yang datang untuk bekerja di perkebunan gula setelah perbudakan dilarang pada akhir abad ke-19 (Allen, 2011). Memelihara burung adalah tradisi kuno dalam budaya Jawa, dan banyak dari pekerja ini tetap tinggal di Suriname, menjadi nenek moyang komunitas Jawa yang berkembang pesat di negara ini saat ini.

Akibat tingginya kontes burung penyanyi
Kontes nyanyian burung adalah pendorong di balik perdagangan burung penyanyi, dan di banyak negara, kontes tersebut berkontribusi terhadap penurunan populasi burung liar, terutama di Asia Tenggara di mana lebih banyak spesies burung terancam oleh perdagangan daripada di wilayah lain mana pun di dunia. Dari sudut pandang konservasi, kontes nyanyian burung dapat memberi tekanan pada populasi burung liar. Misalnya, Shama berkepala putih, Barbet berkepala coklat, dan Sariawan berkepala Oranye adalah di antara lima spesies paling populer untuk kontes menyanyi dan ketiganya memiliki populasi yang menurun.

Peneliti mengumpulkan 219 makalah penelitian tentang burung yang diterbitkan antara tahun 1990 dan 2020 dan mengkategorikannya menurut asal geografis, tanggal publikasi, dan fokus akademik. Peneliti menemukan bahwa kontes menyanyi saat ini berlangsung di 19 negara di lima wilayah biogeografis dunia, menggunakan setidaknya 36 spesies burung. Analisis kami mengungkapkan bahwa penelitian tentang perdagangan burung penyanyi paling banyak dilakukan di wilayah Indo-Melayu, Neotropis, dan Palearktik.

Jenis Burung Kontes di Indonesia  

Menurut laman Burungnya.com/suhukicau.com setidaknya ada 15 jenis burung paling banyak diperlombakan di indonesia yaitu:
  • Murai Batu
  • Lovebird
  • Kenari
  • Kacer
  • Cucak ljo/Cucak Rowo
  • Jalak
  • Cendet atau Pentet
  • Pleci
  • Anis Merah
  • Kolibri
  • Perkutut
  • Ciblek
  • Merpati
  • Jalak suren
Dan banyak lagi jenis burung yang diperlombakan bahkan mungkin disetiap daerah punya jenis burung yang diperlombakan, misalnya di lombok yang sedang popoler adalah kecial kuning, kecial kombok (Endemik lombok) ditempat mimin idnfarmer.com dan lain-lain.

Penegakan dan Legislasi


Mimin melihat penegakan hukum tentang penangkapan dan perdagangan burung khususnya diindonesia lemah mungkin juga ditempat lain, burung-burung hanya akan ditindak lanjuti ketika populasinya terlihat jarang dan menurun disuatu tempat, tapi bagi burung lainnya yang masih terlihat banyak bahkan jika secara terang-terangan menjadi bagian dari objek kontes menyanyi, tidak dihiraukan. Nampaknya konservasi dengan basis pencegahan itu tidak pernah ada.

Jika pemerintah kementrian lingkungan hidup atau yang memiliki kuasa terhadap masalah ini membaca artikel ini, pandangan saya idnfarmers, cara bijak untuk membuat kebijakan penegakan perdagangan burung adalah dengan melihat objek kontes, burung apa yang mulai banyak diperlombakan. Sederhananya, dari gambaran penelitian ini kita tau bahwa perdagangan burung lalu kepunahan burung, didorong oleh kontes.

Misalnya; didaerah lombok saat ini kontes burung paling populer adalah kecial kuning, perburuan liar sangat tinggi tidak hanya menggunakan sangkar pikatan, getah tapi banyak yang menggunakan jaring dan menangkap ratusan dalam sekali tangkap. Belajar dari pengalaman sebelumnya, kecial kombok (endemik lombok) yang terlambat di beri penegakan kini berstatus hampir punah.

Demikian artikel tentang Indonesia Negara dengan Kontes Burung Tertinggi di Dunia. Semoga bermanfaat!

Jurnal Referensi:
Benjamin H. Mirin, Holger Klinck. Bird singing contests: Looking back on thirty years of research on a global conservation concern. Global Ecology and Conservation, 2021; 30: e01812 DOI: 10.1016/j.gecco.2021.e01812


Posting Komentar untuk "Indonesia Negara dengan Kontes Burung Tertinggi di Dunia"